Laman

Selasa, 28 Juni 2011

Rajawali VS Anak Ayam

"Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau..."(Yesaya 43:4a)

Suatu hari seorang pemuda petualang berkelana mendaki gunung yang tinggi, sesampainya dipuncak gunung tersebut ia lalu menemukan sarang burung rajawali dan beberapa butir telurnya yang tertutup ranting-ranting pohon. Setelah menghabiskan beberapa waktu lamanya di puncak gunung tersebut, ia lalu mengambil sebutir telur rajawali yang ia temui untuk dibawanya pulang.

Dalam perjalanan pulangnya untuk melepas lelah iapun beristirahat sejenak dibawah sebatang pohon besar. Namun tanpa disadarinya sebutir telur rajawali yang diambilnya tersebut tertinggal dibawah sebatang pohon tempatnya beristirahat ketika ia beranjak pergi. Selang beberapa saat setelah ia pergi, seekor induk ayam hutan yang sedang mencari-cari tempat untuk bertelur lalu menggantikan tempat pemuda itu, tepat dimana telur rajawali itu tertinggal. Singkat cerita, sampailah waktunya induk ayam itu untuk mengeram dan ikutlah telur rajawali tersebut didalam eraman si induk ayam. Haripun berganti dan menetaslah seluruh telur-telur ayam hutan itu bersama sebutir telur rajawali yang tertinggal tadi.

Waktu demi waktu berlalu, sang rajawalipun bertumbuh. Namun ia bertumbuh tetap dengan perilaku seperti seekor ayam, karena dia mengira bahwa dirinya adalah seekor ayam. Ia mengais-ngais tanah, memakan cacing, naik turun diatas pohon, dan melakukan segala perilaku layaknya seekor ayam.

Suatu saat, rajawali dan anak-anak ayam itu dikejar-kejar musang, mereka lalu lari terbirit-birit, dan bersembunyi. Di tengah-tengah kepanikan dan ketakutan luar biasa itu, sang anak rajawali menengadah ke langit, dan terlihatlah olehnya seekor burung rajawali dewasa terbang gagah melintas dilangit yang biru. Sempat terbersit dalam benaknya, ia ingin terbang seperti rajawali itu yang tampaknya begitu gagah dan perkasa. Ia lalu mulai mencoba mengepak-ngepakkan sayapnya seperti rajawali, tetapi tiba-tiba anak-anak ayam lainnya berceloteh:

“Hey, sedang apa kau...?? jangan bermimpi. Kita ini ayam, bukan rajawali yang terbang gagah di atas awan itu, ayam itu tidak bisa terbang, percuma saja kau mengepakkan sayapmu seperti itu, sebab selamanya ayam tidak akan pernah bisa terbang."

Mendengar penjelasan saudaranya sesama ayam yang lain maka patahlah semangat sang rajawali tersebut, dan iapun kembali bermain di dalam hutan, diatas pohon-pohon yang rendah dan memakan cacing tanah bersama anak-anak ayam lainnya sampai akhir hidupnya.

Ketika kita dilahirkan, Tuhan telah merancang dan mengaruniakan kemampuan serta bakat didalam diri kita secara pribadi untuk kita miliki dan kita pergunakan sepenuhnya untuk berkarya dan mencapai yang terbaik.

Banyak orang akhirnya gagal mencapai potensi terbaik dalam dirinya bukan karena ia tidak memilikinya, namun karena tidak menyadari betapa besar sesungguhnya  kemampuan serta potensi yang ia miliki.

Persoalannya hanya kembali pada diri kita. Menyadari diri layaknya seekor 'Rajawali' yang dapat terbang tinggi di langit yang biru, atau membatasi diri hanya sebagai seekor 'Anak ayam' yang tidak berdaya.


Mata Air Yang Segar

Sabtu, 25 Juni 2011

Gadis Kecil dan 57 Cent

" Siapa mengejar kebenaran dan kasih akan memperoleh kehidupan, kebenaran dan kehormatan. " (Amsal 21:21)

Pada akhir abad 19 lalu di sebuah gereja yang tidak terlalu besar namun penuh sesak, seorang gadis kecil berpakaian sedikit lusuh berdiri di depan pintu masuk gereja tersebut berusaha mendapatkan bagian tempat duduk agar dapat mengikuti ibadah anak-anak yang sedang berlangsung. Ditangannya yang mungil ia memegang beberapa buah buku Sekolah Minggu.

Di tengah kerumunan orang-orang yang akan mengikuti ibadah, gadis kecil ini terlihat ragu-ragu apakah akan menunggu atau harus pulang ke rumah, karena mungkin ia tidak lagi bisa mendapat bagian tempat duduk untuk mengikuti ibadah Sekolah Minggu di hari itu. Gereja kecil tempatnya beribadah  memang belum mampu memiliki fasilitias yang cukup memadai untuk menampung banyaknya jemaat yang hadir serta anak-anak Sekolah Minggu yang datang beribadah. Beberapa saat kemudian seorang Pendeta yang kebetulan melihat gadis kecil itu sedang dalam kebingungan lalu merangkul tangannya, mengangkatnya kebahunya dan menggendongnya melewati kerumunan orang banyak menuju ruang Sekolah Minggu serta memberinya tempat duduk. Gadis kecil dan lugu itu begitu gembira karena akhirnya di hari Minggu itu ia bisa mengikuti ibadah Sekolah Minggu yang selalu dinantikannya.

Keesokan harinya Pendeta itu lalu berkunjung ke rumah gadis kecil tersebut yang terletak tidak jauh dari lokasi gereja dimana ia dan keluarganya berbakti. Ketika Pendeta ini berjumpa dengan gadis kecil di Sekolah Minggu tersebut ia lalu menyapanya dan berkata :

“Kita akan segera memiliki ruang sekolah Minggu yang lebih besar.”

“Aku harap itu tidak akan begitu sesak lagi sehingga aku tidak akan takut lagi untuk pergi kesana sendirian.” jawab gadis kecil itu pada Pendetanya.

"Ketika kita mendapatkan uang untuk mendirikan gedung sekolah, kita akan membangun satu yang cukup besar untuk mendapatkan semua anak-anak kecil, dan kita akan mulai segera untuk mengumpulkan uang untuk itu ". Kata Pendeta itu menjelaskan rencana besarnya.

Beberapa waktu kemudian hal yang mengejutkan terjadi. Kedua orang tua gadis kecil tersebut datang tergesa-gesa menemui sang Pendeta dengan menyampaikan kabar bahwa anak kesayangan mereka sedang mengalami sakit keras di rumah, dan mereka meminta sang Pendeta untuk mendoakan kesembuhan gadis kecilnya. Dengan segera Pendeta itu lalu berlari menyusuri jalan untuk melihat keadaan gadis kecil yang pernah digendongnya di Sekolah Minggu beberapa waktu lalu. Namun sayang, nyawanya tak tertolong. Gadis kecil itu meninggal dunia. Saat pemakaman dilangsungkan ibu gadis kecil itu lalu memberikan sesuatu pada Pendeta tersebut sebagai pemberian dari gadis kecilnya. Sesuatu yang membuat Pendeta ini sangat terharu adalah ketika ia menerima sumbangan sebesar 57 cent dalam sebuah tas anak-anak hasil tabungan dari gadis kecil tersebut sebelum ia meninggal dunia sebagai wujud kerinduannya untuk membantu gerejanya membangun sebuah gedung Sekolah Minggu yang baru.

Dengan penuh keharuan Pendeta tersebut lalu membawa uang 57 cent pemberian gadis kecil itu ke gereja dan dengan penuh keyakinan ia menyatakan imannya pada para pengurus gereja,

“Kita telah memiliki karunia pertama menuju gedung Sekolah Minggu yang baru.” “Hattie May Wiatt, yang telah pergi ke Dunia Cemerlang, telah meninggalkan hadiahnya ke arah itu.”

Mulai saat itu pemberian 57 Cent dalam tas kecil dari Hattie May Wiatt, gadis kecil pecinta Sekolah Minggu tersebut telah menggugah hati banyak orang untuk terus memberi bagi pembangunan gerejanya dan ia telah memotivasi banyak pihak ikut menyumbangkan dana bagi tujuan mulia Hattie untuk membangun sebuah gedung Sekolah Minggu yang baru.

Hingga pada akhirnya gereja kecil Hattie May Wiatt yang tak mampu menampung banyaknya anak-anak Sekolah Minggu yang datang tersebut kemudian berubah menjadi gedung Gereja Temple Baptist Church dengan kapasitas lebih dari 3000 tempat duduk, dan dalam perkembangannya kemudian berdirilah Temple College (Kampus Sekolah Tinggi Teologia) serta Temple University Hospital (Rumah Sakit Gereja Temple Baptist) di Pennsylvania yang telah meluluskan ribuan pelajar Teologi dan mengobati ribuan orang sakit.

Dan untuk mengenang pemberian tulusnya, maka di Ruang Sekolah Minggu Temple Baptist Church di Pennsylvania, masih tergantung gambar manis wajah gadis kecil bernama Hattie May Wiatt, dan untuk menyatakan apa yang dapat Allah lakukan hanya dengan 57 Cent.



Mata Air Yang Segar

Sumber : The Story of Fifty Seven Cent. Teks Kotbah Pdt. Russell Conwell pada Jemaat Gereja Grace (Temple) Baptist tahun 1912.

Jumat, 24 Juni 2011

Cinta Dan Waktu

Alkisah di suatu pulau hiduplah beberapa orang sahabat yang tinggal bersama. Kelima sahabat itu bernama Cinta,Kesedihan,Kekayaan,Kebahagiaan dan Kecantikan. Selama ini mereka hidup berdampingan tanpa ada masalah apapun yang datang.

Suatu ketika datanglah badai dahsyat menghempas pulau itu dan seluruh penduduk yang ada di pulau itu hingga akhirnya menenggelamkannya perlahan-lahan. Semua orang panik untuk menyelamatkan diri masing-masing dan membawa serta orang-orang terdekat mereka. Dalam bencana yang sedang berlangsung itu akhirnya tinggalah Cinta seorang diri sebab ia tak dapat berenang dan juga tidak mempunyai perahu untuk menyelamatkan dirinya, sementara air laut semakin meninggi dan hampir saja menghanyutkannya.

Tak lama kemudian Cinta melihat Kekayaan sedang mengayuh perahunya. Ia lalu berteriak pada Kekayaan “Kekayaan!Kekayaan!Tolonglah aku..!" teriak Cinta.
“Aduh maaf Cinta, perahuku telah penuh dengan harta bendaku. Aku tidak dapat membawamu serta, nanti perahu ini tenggelam. Tak ada lagi tempat bagimu disini.”
Kekayaan lalu dengan cepat mengayuh perahunya pergi.

Kemudian dilihatnya lagi kegembiraan lewat dengan perahunya. Dengan penuh harapan ia berteriak padanya “Kegembiraan, aku disini tolong aku..!”, teriak cinta. Namun Kegembiraan terlalu bergembira menemukan perahu sehingga ia tidak mendengar teriakan Cinta.

Air semakin meninggi dan Cintapun semakin panik. Tak lama kemudian lewatlah Kecantikan dan Cinta kembali berteriak memohon pertolongan ”Kecantikan ,bawalah aku dalam perahumu” teriak Cinta. “Oohh Cinta, kamu basah dan kotor sekali, aku tak bisa membawamu disini. Kau akan mengotori perahuku”, jawab Kecantikan.

Cinta mulai menangis dan mengharapkan pertolongan, dan saat itu lewatah Kesedihan dengan perahunya  “Kesedihan tolong bawalah aku bersamamu”, teriak Cinta. “Maaf Cinta, aku sedang bersedih, dan aku ingin sendirian saja di perahu ini.” kata Kesedihan sambil terus mengayuh perahunya.

Cinta sudah mulai putus asa, ia melihat air semakin naik tinggi dan segera menenggelamkannya. Pada saat ia hampir tenggelam terdengar suara dari kejauhan, “Cinta, mari segera naiklah ke perahuku”. Suara itu begitu tegas dan berwibawa.
Cinta lalu menoleh ke arah datangnya suara itu dan melihat seorang tua di dalam perahu.
Orang tua itu lalu mengulurkan tangannya pada Cinta dan mengangkatnya keatas perahu.

Setelah sampai di sebuah pulau yang aman dan tenang,orang tua itupun menurunkan Cinta dan segera pergi.
Cinta begitu terharu menatap kepergian orangtua yang telah menyelamatkan nyawanya itu hingga ia lupa untuk menanyakan nama orang tua tersebut.

Cinta lalu menanyakan siapakah sebenarnya orang tua penolongnya itu kepada Kebijaksanaan yang tinggal di pulau itu.
“Kebijaksanaan apakah kau mengenal orang tua yang membawaku dengan perahunya tadi?Siapakah sebenarnya orang tua itu?” tanya Cinta pada Kebijaksanaan.

 “Dia adalah Waktu”
jawab Kebijaksanaan pada Cinta.
“Tapi kenapa ia menyelamatkanku? Aku tak mengenalnya. Bahkan sahabat-sahabatkupun tak mau menolongku” tanya Cinta dengan heran pada Kebijaksanaan.

Lalu dengan tenang Kebijaksanaan menjawab pertanyaan Cinta dan berkata,
“Sebab hanya waktulah yang tahu berapa nilai sesungguhnya dari Cinta itu…”



Anonim

Kamis, 23 Juni 2011

Pemburu Rusa

"Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar." (Lukas 16:10)

Suatu hari seorang pemburu berangkat menuju hutan untuk berburu dengan membawa busur dan tombak. Dalam hatinya ia menghayal ingin membawa hasil buruan yang paling besar, yaitu seekor rusa. Cara berburunya juga cenderung aneh, sebab ia tidak memakai alat-alat yang memadai untuk menghasilkan tangkapan yang diinginkannya, melainkan ia melakukannya dengan cara menunggu binatang incarannya di balik sebatang pohon yang memang sering dilalui oleh binatang-binatang buruan. Menurutnya ini adalah cara yang paling cepat dan ringkas.

Tak lama menunggu, seekor kelelawar yang tersesat keluar dari dalam gua terbang hinggap di atas pohon kecil tepat berada di depan si pemburu. Sebenarnya dengan ayunan parang atau pukulan gagang tombaknya saja, kelelawar itu pasti dapat diperolehnya. Tetapi kemudian ia berpikir,
"Ah...untuk apa aku merepotkan diri dengan seekor kelelawar? Apakah artinya kelelwar itu dibandingkan dengan seekor rusa besar yang sedang kuincar?"
Lalu ia pun mengabaikannya begitu saja.

Tidak lama kemudian, seekor kancil berjalan melintas. Kancil itu sempat berhenti di depannya bahkan menjilat-jilat ujung tombaknya tetapi ia kembali berpikir,
"Ah...seekor kancil,hanya membuang-buang waktuku saja." 

Agak lama si pemburu kembali menunggu dibalik sebuah pohon. Tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki binatang mendekat, iapun mulai siaga penuh mengambil ancang-ancang, tetapi ternyata,
“Ah.....hanya seekor kijang, apalah artinya dibanding seekor rusa incaranku.”
Si pemburu kembali mengeluh dan membiarkan kijang itu berlalu.

Setelah lama menunggu, tetap saja tidak ada rusa incarannya yang lewat, akhirnya ia mulai mengantuk dan tertidur. Setelah hari mulai sore, rusa yang ditunggu-tunggunya akhirnya tiba. Rusa itu sempat berhenti di depan si pemburu, sayangnya ia sedang tertidur pulas, dan ketika kaki rusa itu hampir menginjaknya, iapun langsung kaget tak karuan lalu berteriak dengan keras,
"Rusa besar......!!!"
Mendengar suara teriakan keras penuh kegembiraan si pemburu, rusa incarannya itu akhirnya lari terbirit-birit sebelum sang pemburu sempat menombaknya. Alhasil sampai malam menjelang tak satupun binatang yang melintas di depannya, dan iapun pulang dengan tangan kosong tanpa membawa hasil apa-apa.

Renungan :
Dalam kehidupan terkadang kita lebih memilih untuk menunggu mendapatkan kesempatan untuk melakukan sesuatu yang besar dan 'bombastis' lalu kita mengabaikan perkara-perkara yang nampaknya kecil dan sederhana di depan mata kita yang sebenarnya Tuhan kehendaki agar kita terlebih dahulu bertekun didalamnya.
Satu hal yang perlu diingat adalah seringkali Tuhan mengajarkan kita untuk setia dalam melakukan perkara-perkara kecil terlebih dahulu sebelum Ia mempercayakan kepada kita perkara-perkara yang lebih besar lagi untuk kita kerjakan. 
Perkara-perkara kecil yang telah kita lalui dengan setia, menyediakan bagi kita semua yang kita butuhkan untuk menerima perkara-perkara yang lebih besar dari Allah.

Jika tidak demikian, maka tidak jarang akhirnya kita harus berpuas diri dengan tidak mendapatkan hasil apapun juga.



Mata Air Yang Segar
Ilustrasi : Anonim

Tuhan Mengemudikan Hidup Kita

"Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku  dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku, dan Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorangpun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku." (Yohanes 10:27-29)

Pada saat liburan sekolah berlangsung, seorang ayah mengambil cuti dari pekerjaannya untuk menemani putri kecilnya yang sedang berlibur dan mengajaknya berkeliling kota ke tempat-tempat yang belum pernah ia kunjungi. Mereka berdua lalu menghabiskan waktu bersama di arena permainan anak-anak, menikmati es krim di taman kota, berenang di kolam renang, dan setelah puas bermain sang ayah lalu mengajak putri kecilnya mengunjungi museum, agar ia dapat mengetahui banyak hal baru.

Mereka sangat menikmati kebersamaan mereka. Namun dalam perjalanan menuju museum tak jarang putri kecilnya itu menanyakan pada ayahnya arah mana yang harus mereka tempuh untuk sampai ke museum. Disepanjang perjalanan akhirnya sang ayah harus sabar dengan celoteh putri kecilnya yang terus bertanya padanya :

“Ayah…apakah ayah tahu tempatnya?”
“Tahu nak...jangan kuatir..” jawab sang ayah sambil tersenyum.
“Benar, kita tidak tersesat ayah..?”
“Iya benar, ayah benar-benar mengetahui jalannya..” jawab ayahnya dengan sabar.
“Hmm....jauh ya ayah?nanti kalau aku haus bagaimana?”
“Oh tenang saja..nanti ayah mampir belikan minuman untukmu ya…”
“Trus kalau aku lapar bagaimana?
“Tenang…nanti ayah bawa ke rumah makan terdekat”
“Memangnya ayah tahu rumah makannya dimana?”
“Tahu kok sayang...”
“Memangnya ayah bawa cukup uang untuk kita makan?”
“Cukup sayang,ayah sudah siapkan untuk perjalanan kita”
“Trus kalau aku mau kencing dimana?”
“Nanti ayah temani sampai ke toilet”
“Memangnya di museum itu ada toiletnya?”
“Ada…jangan kuatir”
“Ada tisue juga yah?”
“Ada kok, kalau tidak ada juga nanti ayah siapkan,jangan kuatir” kata sang ayah lalu membelokkan mobilnya memasuki gang-gang sempit untuk menghindari macet.
“Ayah..kok ayah memilih jalan yang sempit dan jelek begini?”
“Tenang saja...ayah masuk ke jalan ini supaya kita bisa cepat sampai ke museum dan kita bisa lebih lama disana nantinya.”

Untuk beberapa saat putri kecilnya tidak lagi bertanya-tanya dan sang ayah terus melanjutkan perjalanan. Melihat sikap putri kecilnya yang lebih tenang, ia merasa lega karena putri kecilnya itu mulai mempercayainya.
Sang ayah lalu balik bertanya,

“Kenapa diam, sayang..?”
“Ya... aku percaya ayah aja deh! Ayah pasti tahu semua yang aku butuhkan.”

Kita semua seperti si anak kecil ini. Kita seringkali bertanya tentang banyak hal mengenai apa yang akan kita hadapi dalam hidup kita, dan terlalu banyak mengkuatirkan akan apa yang akan kita hadapi kelak.

Sesungguhnya dalam perjalanan hidup yang kita lalui, Tuhan sedang mengemudi buat kita. Kadang Ia membawa kita ke “gang sempit” yang  tidak enak dan penuh gejolak, tetapi itu semua untuk menghindari “kemacetan” di jalan yang lain.

Kadang Ia memperlambat “kendaraan-Nya”, kadang mempercepat. Namun semuanya ada maksudnya. Adalah lebih baik jika kita mempercayakan hal-hal yang diluar jangkauan kita pada-Nya. Biarkan Dia berkarya atas hidup Anda, biarkan Dia terus mengemudikan hidup Anda, sebab Ia mengetahui jalan yang harus kita tempuh. Dan, Bagian kita hanyalah tetap bekerja dan melakukan yang terbaik sesuai dengan kemampuan yang kita miliki.



Mata Air Yang Segar
Ilustrasi : ERP

Rabu, 22 Juni 2011

Antara Bambu dan Pakis

Suatu saat, aku menghadapi masa-masa terberat dalam hidupku.
Masa-masa dimana aku tak lagi mampu untuk bertahan.
Masa-masa dimana aku melewati perjalanan hidup yang sangat membuatku lelah dan ingin berhenti dari semuanya.
Berhenti dari pekerjaan-pekerjaanku. Berhenti dari semua hubungan yang kujalani, berhenti dari hubunganku dengan Tuhan juga sesama.
Aku ingin pergi menyendiri, dan menghentikan semua. Aku lalu berlari ke hutan dan berbicara dengan Tuhan dan mungkin juga ini untuk yang terakhir kalinya aku berbicara pada-Nya.
Dalam kesunyian Aku bertanya pada-Nya :

"Tuhan...Berikanlah padaku sebuah alasan agar aku tidak berhenti dari semuanya."
Lalu Dia memberiku jawaban yang jauh dari sadarku. Ia berkata,
"Lihatlah  ke sekelilingmu anak-Ku". "Perhatikanlah  tanaman pakis dan bambu yang ada di hutan ini?"
"Ya, aku melihat semuanya Tuhan", jawabku.

Lalu dengan sabar Ia menjelaskan padaku,

"Ketika pertama kali tangan-Ku membuat mereka tumbuh, Aku memelihara benih-benih kecil itu agar mereka dapat tumbuh sempurna dengan penuh perhatian. Aku menyinari mereka dengan cahaya matahari disiang hari, Aku juga menurunkan hujan agar mereka memperoleh air yang cukup untuk tumbuh, dan benih-benih pakis itu bertumbuh dengan sangat cepat. Mereka mengeluarkan warna-warna hijau yang semarak diatas tanah. Namun tidak demikian dengan benih-benih  bambu itu, tetapi Aku tidak berhenti disitu untuk membuatnya bertumbuh."
"Melewati tahun kedua, pakis-pakis itu bertumbuh mengeluarkan tunas-tunasnya lebih cepat dan lebih banyak lagi. Namun, tetap tidak ada yang terjadi dengan benih-benih bambu itu. Tetapi lihatlah.. Aku tidak menyerah terhadapnya."
"Dalam tahun ketiga, tidak ada yang tumbuh dari benih- benih bambu itu, tetapi Aku tetap tidak menyerah. Begitu juga dengan tahun ke empat. "
"Namun pada tahun ke lima sebuah tunas bambu kecil itu mulai muncul dari dalam tanah.
”Bandingkanlah hal itu dengan pakis. Kemudian perhatikanlah enam bulan berikutnya, bambu-bambu itu  tumbuh dan mencapai ketinggian lebih dari 100 kaki. Ia membutuhkan waktu lima tahun agar akar-akarnya bertumbuh dan tertanam dengan kuat. Akar-akar itu akan membuat seluruh bagiannya kuat dan berdiri tegak, menyediakan semua kebutuhannya untuk bertahan hidup lebih lama. Demikianlah Aku tidak akan memberikan ciptaanku tantangan yang melebihi kekuatannya." 

"Tahukah engkau anak-Ku, dari semua waktu pergumulanmu, sebenarnya saat-saat yang kau anggap buruk itu engkau sedang menumbuhkan akar-akarmu..? Aku tidak menyerah terhadap bambu itu,demikianlah  Aku juga tidak akan pernah menyerah terhadapmu. "

"Jangan bandingkan dirimu dengan orang lain. Aku mencipatakan bambu-bambu itu dengan tujuannya  yang berbeda dibandingkan dengan pakis, namun keduanya tetap akan menjadi karya-Ku yang indah untuk menghiasi hutan ini.”
"Saatmu akan tiba. Engkau akan tumbuh sangat tinggi."

Aku bertanya pada-Nya, "Sampai seberapa tinggikah itu Tuhan?"
Lalu Ia menjawab, ”Setinggi bambu itu dapat tumbuh, setinggi itu pula engkau akan terus naik, yaitu setinggi yang engkau mampu."
 
"Muliakanlah Aku dengan pertumbuhanmu, setinggi yang dapat kau capai."

Lalu aku pergi meninggalkan hutan itu dan kembali pada kehidupanku. menyadari bahwa Allah tidak akan pernah berhenti denganku, dan Dia juga tidak akan pernah berhenti dan menyerah terhadap Anda.  
Jangan pernah sesali hidup yang sedang Anda jalani saat ini, walaupun hanya untuk satu hari. Karena hari-hari yang menyenangkan memberikan kepadamu sebuah kebahagiaan, dan  hari-hari yang berat akan memberikanmu sebuah pengalaman. Namun semuanya itu akan menjadikan hari-harimu lebih berarti.


Anonim

Doa Sang Jenderal

"Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: "Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya ; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak." ( Ibrani 12:5-6 )
 
Jenderal Douglas Mc Arthur adalah seorang Jenderal legendaris Amerika Serikat yang ikut bertempur dalam tiga peperangan besar. Ia terlibat dalam Perang Dunia I,Perang Dunia II dan juga perang menghadapi Korea. Peranan penting Mc Arthur muncul ketika ia menjadi Kepala Staf Angkatan Darat AS pada tahun 1930-an dan kemudian berperan penting dalam Perang Dunia II. Ia ditugaskan untuk memimpin invasi ke Jepang di Pasifik pada November 1945 dan berhasil mengalahkan Jepang, kemudian ia menerima penyerahan Jepang kepada Sekutu pada 2 September 1945. Mc Arthur juga ikut berjasa dalam menerapkan berbagai perubahan demokratis dan ia juga memimpin tentara PBB di Korea dari 1950–1951 melawan invasi Korea Utara.
Dalam kesibukan sebagai seorang Jenderal yang selalu berada di medan peperangan ia sempat menuliskan sebuah doa luar biasa yang ditujukan pada putera tercintanya. Doa yang ia tuliskan itu diberinya judul “Doa Untuk Putraku”. Demikianlah isi doa Jenderal Mc Arthur tersebut :

Tuhanku… 

Bentuklah puteraku menjadi manusia yang cukup kuat untuk mengetahui kelemahannya.
Dan, berani menghadapi dirinya sendiri saat dalam ketakutan.
Manusia yang bangga dan tabah dalam kekalahan.
Tetap Jujur dan rendah hati dalam kemenangan.

Bentuklah puteraku menjadi manusia yang berhasrat mewujudkan cita-citanya
dan tidak hanya tenggelam dalam angan-angannya saja.
Seorang Putera yang sadar bahwa
mengenal Engkau dan dirinya sendiri adalah landasan segala ilmu pengetahuan.

Tuhanku…

Aku mohon, janganlah pimpin puteraku di jalan yang mudah dan lunak.
Namun, tuntunlah dia di jalan yang penuh hambatan dan godaan, kesulitan dan tantangan.

Biarkan puteraku belajar untuk tetap berdiri di tengah badai dan senantiasa belajar
untuk mengasihi mereka yang tidak berdaya.

Ajarilah dia berhati tulus dan bercita-cita tinggi,
sanggup memimpin dirinya sendiri,
sebelum mempunyai kesempatan untuk memimpin orang lain.

Berikanlah hamba seorang putra
yang mengerti makna tawa ceria
tanpa melupakan makna tangis duka.

Putera yang berhasrat
Untuk menggapai masa depan yang cerah
namun tak pernah melupakan masa lampau.

Dan, setelah semua menjadi miliknya…
Berikan dia cukup Kejenakaan
sehingga ia dapat bersikap sungguh-sungguh
namun tetap mampu menikmati hidupnya.

Tuhanku…

Berilah ia kerendahan hati…
Agar ia ingat akan kesederhanaan dan keagungan yang hakiki…
Pada sumber kearifan, kelemahlembutan, dan kekuatan yang sempurna…
Dan, pada akhirnya bila semua itu terwujud,
hamba, ayahnya, dengan berani berkata “hidupku tidaklah sia-sia”


Refleksi :
Setiap tantangan dan hambatan dalam kehidupan sesungguhnya adalah kesempatan emas bagi kita untuk memperbesar kapasitas diri.



Mata Air Yang Segar

Senin, 20 Juni 2011

Mentoleransi Dosa

"Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya." ( 1 Petrus 5:8 )

Dalam sebuah cerita rakyat Arab kuno dikisahkan bahwa ada seorang kafilah yang bepergian bersama seekor unta miliknya. Setelah lelah melakukan perjalanan panjang melintasi padang gurun yang panas dan gersang, di suatu senja tibalah ia pada sumber air yang cukup banyak di padang pasir. Ia lalu mendirikian sebuah tenda untuk bermalam di tempat itu, sementara unta miliknya menikmati air minum yang telah disediakannya juga disitu. Karena lelah sang kafilahpun langsung tertidur lelap dalam tendanya yang hangat. Saat ia sedang tertidur pulas di tengah malam tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara untanya yang seketika datang membangunkannya serta memohon padanya,
“Tuanku izinkalah kiranya hidungku saja berada didalam tenda hangatmu ini, sebab malam hari ini terasa dingin.” Sang kafilahpun menjawab “Baiklah jika hanya hidungmu saja.” Lalu ia melanjutkan tidurnya. 
Selang beberapa menit kemudian unta miliknya kembali lagi membangunkannya dan berkata, “Tuanku izinkanlah kiranya kepalaku saja masuk kedalam tenda ini sebab diluar dingin sekali.” Sang kafilahpun kembali menjawab untanya “Baiklah masukannlah kepalamu saja kedalam tenda ini.” Lalu iapun kembali tertidur. Beberapa menit kemudian unta miliknya itu lagi-lagi mengusiknya dan berkata “Tuanku yang baik hati, izinkanlah kiranya separuh badanku saja masuk kedalam tendamu ini, aku tak tahan lagi diluar sini.” Sang kafilahpun kembali terbangun dan menjawab untanya sekali lagi, “Ya, masukkanlah setengah saja badanmu itu.” Lalu ia melanjutkan tidurnya.
Tak berapa lama kemudian dengan keras dan tanpa basa basi lagi untanya lalu membangunkan tidur tuannya itu dan berkata “Hey...aku akan memasukkan semua badanku didalam tenda ini dan kau tidurlah diluar sana.!!” Kemudian unta itu lalu menendang tuannya keluar tenda dan iapun tidur di dalam tenda tuannya itu.


Renungan :
Jika kita mencoba untuk mengizinkan dosa yang awalnya kita anggap “kecil” dan “biasa-biasa saja” masuk kedalam hidup kita, maka suatu saat dosa itu akan masuk menguasai dan membinasakan seluruh kehidupan kita.



Mata Air Yang Segar

Senin, 13 Juni 2011

Jangan Simpan Kekesalan Dihati

"Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu  yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu,” (1Petrus 1:14)

Setelah menyimpan kekesalannya selama lebih dari 20 tahun, seorang murid akhirnya membalaskan perlakuan Guru sekolahnya dengan cara yang mengenaskan.
Peristiwa tersebut berawal saat Kim murid sekolah di Korea Selatan merasa telah difitnah dan disiksa oleh Song, Guru sekolahnya dengan cara dipukuli dengan keras sampai berulang-ulang kali karena Song menganggap bahwa Kim muridnya itu telah menyontek pada waktu ia mengikuti ujian sekolah. Kepada Polisi Kim mengaku bahwa Song telah memukulinya sebanyak lebih dari seratus kali, padahal ia mengaku tidak melakukan hal yang dituduhkan oleh Song kepadanya. Kim juga mengatakan bahwa ia sudah meminta maaf pada Song sejak setelah ia dipukuli pada tahun 1987, tetapi permohonan maaf Kim selalu ditolak oleh Song.
Alhasil, perlakuan Song kepada muridnya tersebut malah berbuntut kematian. Dalam pemeriksaan Polisi ditemukan bahwa setelah menyimpan dendam lamanya Kim akhirnya membunuh Song pada tahun 2008 saat ia telah berusia 37 tahun. Dalam keterangan selanjutnya Kim juga mengakui bahwa selama ini ia telah beberapa kali mendatangi Song di sekolah tempatnya mengajar agar Song meminta maaf padanya atas perlakuan Song pada dirinya. Marah karena permintaannya selalu diabaikan oleh Song, Kim lantas mengajak Song untuk bertemu secara empat mata di luar rumahnya di wilayah Eunpyeong, dan saat itulah Kim lalu membunuh Song dengan cara menusuknya hingga tewas yang akhirnya membawa Kim ke Pengadilan.
Sebelum membunuh mantan Guru sekolahnya itu, Kim hanya menyampaikan beberapa kalimat pada Song, ”Saya tidak menyontek, Anda harus meminta maaf pada saya.Saya tidak akan membiarkan Anda.”

Peristiwa diatas hanyalah salah satu dari banyak kasus kejahatan yang terjadi atas motif balas dendam, atau membalaskan kekesalan hati dengan jalan melakukan kejahatan.Sebagai orang percaya Yesus "menantang" kita untuk menaklukkan kekesalan hati kita tidak dengan jalan lain, yaitu hanya dengan jalan mengampuni orang yang bersalah pada kita walaupun saat kita harus menelan ketidakadilan.Seburuk apapun kekesalan hati kita Tuhan menawarkan kita untuk melepaskan pengampunan,karena dengan demikianlah kita melakukan kehendak-Nya dan kita mendapatkan upah seperti yang telah dijanjikan-Nya.

"Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosapun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian. Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada orang-orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat." (Lukas 6:32-35)


By : Mata Air Yang Segar

Sabtu, 11 Juni 2011

Mujizat Natal

"Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan." (Yohanes10:10b)

Pada waktu semua orang sedang menikmati persekutuan dan kebersamaan dengan keluarga dan sanak saudara yang dikasihi di malam Natal, tidak demikian dengan sekelompok tentara yang sedang bertugas di medan perang. Saat itu perang dunia pertama sedang berlangsung di tahun 1914, tepatnya di front perang bagian barat Eropa tentara Perancis,Inggris dan Jerman sedang baku tembak di medan peperangan. Deru perang terasa menghantui para prajurit yang sedang bertugas di malam Natal yang gelap dan dingin. Tidak ada tawa ceria anak-anak mereka menerima kado Natal, tidak ada tawa gembira dan pelukan kasih dari orang-orang yang dikasihi. Hampir setiap prajurit merasa sudah bosan dan muak untuk berperang, setelah berbulan bulan mereka meninggalkan rumah mereka, jauh dari istri, anak maupun orang tuanya.
Pada malam Natal biasanya mereka selalu berkumpul bersama dengan seluruh anggota keluarganya masing-masing, makan bersama, bahkan menyanyi bersama di bawah pohon terang di hadapan tungku api yang hangat. Berbeda dengan malam Natal yang sekarang ini, dimana cuaca di luar sangat dingin sekali dan saljupun turun dengan lebatnya, mereka bukannya berada di antara anggota keluarga yang mereka kasihi, melainkan berada di hadapan musuh perang mereka yang setiap saat bersedia untuk menembak mati siapa saja yang bergerak.
Tiada hadiah yang menunggu selainnya peluru dari senapan musuh, bahkan persediaan makananpun sudah berkurang jauh, sehingga hari inipun hampir seharian penuh mereka belum makan. Pakaianpun basah kuyup karena turunnya salju. Biasanya mereka berada di lingkungan suasana yang hangat dan bersih, tetapi kali ini mereka berada di dalam lubang parit, seperti layaknya seekor tikus, basah, becek penuh dengan lumpur. Mereka menggigil kedinginan. Rasanya tiada keinginan yang lebih besar pada saat ini selainnya rasa damai untuk bisa berkumpul kembali dengan orang-orang yang mereka kasihi.
Seorang tentara sedang merintih kesakitan karena barusan saja terkena tembakan, sedangkan tentara lainnya menggigil kedinginan, bahkan pimpinan mereka yang biasanya keras dan tegas entah kenapa pada malam ini kelihatannya sangat sedih sekali, terlihat air matanya turun berlinang, rupanya ia teringat akan istri dan bayinya yang baru berusia enam bulan.
Kapankah perang ini akan berakhir ?
Kapankah mereka akan bisa pulang kembali ke rumahnya masing-masing ? Kapankah mereka bisa memeluk lagi orang orang yang mereka kasihi ?
Dan masih merupakan satu pertanyaan besar pula, apakah mereka bisa pulang dengan selamat dan berkumpul kembali dengan istri dan anak - anaknya ? Entahlah...
Tidak sepatah katapun terdengar. Suasana malam yang gelap dan dingin terasa hening dan sepi sekali, masing-masing teringat dan memikirkan keluarganya sendiri. Selama berjam-jam mereka duduk membisu seperti demikian.
Tiba-tiba dari arah depan di front Jerman, ada cahaya kecil yang timbul dan bergoyang, cahaya tersebut kelihatan semakin nyata. Rupanya ada seorang prajurit Jerman yang telah membuat pohon Natal kecil yang diangkat ke atas dari parit tempat persembunyian mereka, sehingga nampak oleh seluruh prajurit di front tersebut.
Pada saat yang bersamaan terdengar alunan lembut suara lagu “Stille Nacht, Heilige Nacht" (Malam Kudus), yang pada awalnya hanya sayup-sayup kedengarannya, tetapi semakin lama lagu yang dinyanyikan tersebut semakin jelas dan semakin keras terdengar, sehingga membuat para pendengarnya merinding dan merasa pilu karena teringat akan anggota keluarganya yang berada jauh dari medan perang ini.
Ternyata seorang prajurit Jerman yang bernama Sprink yang menyanyikan lagu tersebut dengan suara yang sangat indah, bersih, dan merdu. Prajurit Sprink tersebut sebelumnya ia dikirim ke medan perang adalah seorang penyanyi tenor opera yang terkenal. Suasana keheningan dan gelapnya malam Natal tersebut telah mendorong dia untuk melepaskan emosinya dengan menyanyikan lagu tersebut, walaupun ia mengetahui dengan menyanyikan lagu tersebut, prajurit musuh bisa mengetahui tempat di mana mereka berada.
Ia bukan hanya sekedar menyanyi dalam tempat persembunyiannya saja, ia berdiri tegak, tidak membungkuk lagi, bahkan ia naik ke atas sehingga dapat terlihat dengan nyata oleh semua musuh - musuhnya. Melalui nyanyian tersebut ia ingin membawakan kabar gembira sambil mengingatkan kembali makna dari Natal ini, ialah untuk berbagi rasa damai dan kasih. Untuk ini ia bersedia mengorbankan jiwanya, ia bersedia mati ditembak oleh musuhnya. Tetapi apa yang terjadi, apakah ia ditembak mati ?
Tidak! Entah kenapa seakan-akan ada mujizat yang terjadi, sebab pada saat yang bersamaan semua prajurit yang ada di situ turut keluar dari tempat persembunyiannya masing-masing, dan mereka mulai menyanyikannya bersama. Bahkan seorang tentara Inggris musuh beratnya Jerman, turut mengiringi mereka menyanyi sambil meniup dua peniup Bagpipes (alat musik Skotlandia) yang dibawanya khusus ke medan perang. Mereka menyanyikan lagu Malam Kudus ini dengan rasa pilu dan air mata yang turun berlinang.
Yang tadinya lawan sekarang menjadi kawan, sambil saling berpelukan mereka menyanyikan bersama lagu Malam Kudus dalam bahasanya masing - masing, di sinilah rasa damai dan sukacita benar - benar terjadi. Setelah itu, mereka meneruskan menyanyi bersama dengan lagu Adeste Fideles ( Hai Mari Berhimpun), mereka berhimpun bersama, tidak ada lagi perbedaan pangkat, derajat, usia maupun bangsa, bahkan perasaan bermusuhanpun hilang dengan sendirinya.
Mereka berhimpun bersama dengan musuh mereka yang sebenarnya harus saling tembak, membunuh satu dengan yang lain, tetapi entah kenapa dalam suasana Natal tersebut mereka ternyata bisa berkumpul dan menyembah bersama kelahiran-Nya, Yesus Sang Juru Selamat Dunia. Mujizat Natal yang benar - benar membawa damai di malam yang suci.


Refleksi :
Tiada hadiah paling istimewa bagi Kristus yang telah lahir selain hati yang melimpah dengan kasih dan pengampunan.


Sumber : "My Favourite Christmas"/-Mang Ucup-

Jumat, 10 Juni 2011

Kisah Cinta 6000 Anak Tangga


"Taruhlah aku seperti meterai pada hatimu, seperti meterai pada lenganmu, karena cinta kuat seperti maut,..." ( Kidung Agung 8:6 )

Karena cinta yang dalam pada istrinya, seorang laki-laki luar biasa di China bernama Liu Guojiang rela mengorbankan dirinya memahat 6000 anak tangga dengan tangannya sendiri selama 50 tahun agar istrinya Xu dapat naik dan turun dari tempat kediaman mereka yang terletak di daerah pegunungan.
Liu dan istrinya Xu memilih tinggal memisahkan diri ke pegunungan agar jauh dari banyak orang karena pernikahan mereka dianggap tabu dan tidak bisa diterima oleh masyarakat. Liu seorang yang saat itu masih muda jatuh cinta pada Xu lalu menikahinya dengan usianya terpaut 10 tahun lebih muda dari istrinya Xu seorang janda berusia 29 tahun dan juga sudah memiliki seorang anak. Untuk menghindari gunjingan di masyarakat sekitar Liu kemudian membawa istrinya menetap di pegunungan.
Sebelumnya kedua pasangan ini tinggal di sebuah gua di desa Jiangjin di Selatan Chong Qing, mereka tinggal dengan tidak memiliki modal apapun agar dapat hidup. Untuk menyambung kehidupan mereka, keduanya lalu memakan rerumputan dan akar-akaran yang mereka temukan di hutan dan untuk penerangan Liu membuat sebuah lampu minyak tanah. 
Di tahun berikutnya mereka berpindah dan menetap di daerah pegunungan yang tinggi, di tempat itulah Liu mulai memahat 6000 anak tangga selama lima puluh tahun sehingga istri tercintanya dapat menuruni pegunungan dari tempat kediaman mereka dengan mudah. Di tempat ini juga Liu membangun rumah tangganya selama berpuluh tahun hingga mereka hidup bahagia dan memiliki tujuh orang anak.
Keberadaan pasangan luar biasa yang berdiam diatas gunung ini diketahui setelah setengah abad kemudian pada akhir tahun 2001, ketika itu sebuah kelompok petualang mengeksplorasi hutan dimana mereka tinggal dan kelompok ini terkejut saat menemukan Liu dan Xu yang sudah tua bersama 6000 anak tangga yang dipahat dengan tangan.
Liu Ming Sheng, salah seorang dari ketujuh anaknya memberi kesaksian “Orang tua saya saling mencintai satu dengan yang lain, dan mereka telah hidup menyendiri selama 50 tahun tanpa pernah terpisah satu hari pun”. “Dia telah memahat lebih dari 6000 lebih anak tangga selama bertahun-tahun untuk kenyamanan ibuku, sekalipun dia tidak turun gunung sejauh itu.”
Liu dan istrinya Xu telah hidup bersama selama lebih dari 50 tahun di gunung itu hingga suatu saat ketika Liu berumur 72 tahun terjatuh dan sakit saat ia kembali dari pekerjaannya di kebun dan akhirnya ia meninggal dunia di pangkuan istrinya dengan keadaan tangannya tetap menggenggam istri tercintanya.
“Engkau  berjanji untuk menjagaku, engkau  akan selalu bersamaku sampai hari aku mati, kini engkau meninggalkan aku lebih dulu, bagaimana  saya bisa hidup tanpamu?"  Xu mengulang-ulang ucapannya ini dan menyentuh peti mati suaminya dengan air mata menetes di pipinya.

Pada tahun 2006, kisah kekuatan cinta Liu dan Xu menjadi salah satu bagian atas 10 kisah cinta dari China, yang dikoleksi oleh Chinese Women Weekly (Sebuah Harian Wanita di China) dan Pemerintah daerah setempat telah memutuskan untuk melestarikan "Tangga Cinta Liu"  dan tempat tinggal mereka sebagai sebuah museum agar kisah cinta Liu dan Xu dapat selalu dikenang.


By : Mata Air Yang Segar

Kamis, 09 Juni 2011

Catatan Kegagalan Seorang Pemenang

"Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi  kita." (Roma 8:37 )

Berbicara tentang kegagalan agaknya Pria yang satu ini memiliki catatan kegagalan yang cukup memprihatinkan. Selama berpuluh-puluh tahun dalam hidupnya habis dengan menderita kegagalan berulang-ulang kali dan menelan berbagai peristiwa pahit.

Berikut catatan kegagalan seorang yang bermental baja tersebut :
  • Tahun 1809 ia lahir dari keluarga petani miskin yang hidup dalam kesulitan ekonomi, dan dalam keadaan yang serba sulit ia terpaksa putus sekolah sebelum menguasai dan mengenal huruf secara sempurna.
  • Dalam usianya ke 9 tahun ibunya mengalami sakit keras dan meninggal dunia, meninggalkan ia dan saudara perempuannya juga ayah mereka. Ia kemudian membantu ayahnya bekerja keras untuk melanjutkan sekolahnya agar bisa membaca dengan lancar.
  • Menginjak usia remaja, ia kehilangan saudara perempuannya yang sangat dikasihinya, kakaknya Sarah meninggal dunia, dan untuk membantu kebutuhan keluarga ia harus menjalani pekerjaan-pekerjaan berat yaitu apa saja yang bisa dikerjakannya.
  • Tahun 1831 ia gagal dalam memulai usahanya dan mengalami kebangkrutan.
  • Tahun 1832 untuk pertama kali gagal dalam pemilihan legislatif.
  • Tahun 1833 kembali gagal dan mengalami kebangkrutan dalam usahanya.
  • Tahun 1835 istri yang baru dinikahinya meninggal dunia dan ia mengalami kepedihan yang mendalam.
  • Tahun 1836 mengalamai tekanan mental yang kuat.
  • Tahun 1837 kembali mengalami kegagalan dalam kontes pidato dalam usahanya merintis karir di dunia politik.
  • Tahun 1840 lagi-lagi gagal dalam pemilihan anggota senat Amerika Serikat.
  • Tahun 1842 menderita kekalahan untuk duduk dalam Kongres.
  • Tahun 1848 gagal lagi di Kongres.
  • Tahun 1855 gagal lagi di Senat Amerika Serikat.
  • Tahun 1856 kalah dan gagal dalam pemilihan menjadi Wakil Presiden Amerika Serikat.
  • Tahun 1858 kembali gagal di Senat.
  • Tahun 1860 rangkaian kegagalannya berakhir. Abraham Lincoln mantan pelayan toko dan pemotong rel kereta api dari keluarga petani miskin ini berhasil menjadi Presiden Amerika Serikat ke-16 dan menjadi salah seorang Presiden Amerika Serikat yang paling dikenang sepanjang sejarah, dan dibawah kepemimpinannya ia berhasil menghapus perbudakan serta membawa Amerika Serikat menuju era Demokrasi. 
  •  
    Pemenang bukanlah seorang yang tidak pernah gagal. Seorang pemenang adalah seorang yang berani menghadapi kegagalan dan kembali berdiri.


    By : Mata Air Yang Segar

    Selasa, 07 Juni 2011

    Bersepeda Bersama YESUS


    "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau." ( Ibrani 13:5 ) 
     
    Pada awalnya, aku memandang Tuhan sebagai seorang pengamat; seorang hakim yang mencatat segala kesalahanku, sebagai bahan pertimbangan apakah aku akan dimasukkan ke surga atau dicampakkan ke dalam neraka pada saat aku mati. 

    Dia terasa jauh sekali, seperti seorang raja. Aku tahu Dia melalui gambar-gambar-Nya, tetapi aku tidak mengenal-Nya.
    Ketika aku bertemu Yesus, pandanganku berubah. Hidupku menjadi bagaikan sebuah arena balap sepeda, tetapi sepedanya adalah sepeda tandem, dan aku tahu bahwa Yesus duduk di belakang, membantu aku mengayuh pedal sepeda.
    Aku tidak tahu sejak kapan Yesus mengajakku bertukar tempat, tetapi sejak itu hidupku jadi berubah. Saat aku pegang kendali, aku tahu jalannya. Terasa membosankan, tetapi lebih dapat diprediksi biasanya, hal itu tak berlangsung lama. Tetapi, saat Yesus kembali pegang kendali, Ia tahu jalan yang panjang dan menyenangkan. Ia membawaku mendaki gunung, juga melewati batu-batu karang yang terjal dengan kecepatan yang menegangkan. Saat-saat seperti itu, aku hanya bisa menggantungkan diriku sepenuhnya pada-Nya! Terkadang rasanya seperti sesuatu yang ‘gila’, tetapi Ia berkata, “Ayo, kayuh terus pedalnya!”
    Aku takut, khawatir dan bertanya, “Aku mau dibawa ke mana?” Yesus tertawa dan tak menjawab, dan aku mulai belajar percaya. Aku melupakan kehidupan yang membosankan dan memasuki suatu petualangan baru yang mencengangkan. Dan ketika aku berkata, “Aku takut!” Yesus menurunkan kecepatan, mengayuh santai sambil menggenggam tanganku.
    Ia membawaku kepada orang-orang yang menyediakan hadiah-hadiah yang aku perlukan. Orang-orang itu membantu menyembuhkan aku, mereka menerimaku dan memberiku sukacita. Mereka membekaliku dengan hal-hal yang aku perlukan untuk melanjutkan perjalanan, perjalananku bersama Tuhanku. Lalu, kami pun kembali mengayuh sepeda kami.Kemudian, Yesus berkata, “Berikan hadiah-hadiah itu kepada orang-orang yang membutuhkannya; jika tidak, hadiah-hadiah itu akan menjadi beban bagi kita.” Maka, aku pun melakukannya. Aku membagi-bagikan hadiah-hadiah itu kepada orang-orang yang kami jumpai, sesuai kebutuhan mereka. Aku belajar bahwa ternyata memberi adalah sesuatu yang membahagiakan.
    Pada mulanya, aku tidak ingin mempercayakan hidupku sepenuhnya kepadaNya. Aku takut Ia menjadikan hidupku berantakan; tetapi Yesus tahu rahasia mengayuh sepeda. Ia tahu bagaimana menikung di tikungan tajam, Ia tahu bagaimana melompati batu karang yang tinggi, Ia tahu bagaimana terbang untuk mempercepat melewati tempat-tempat yang menakutkan.

    Aku belajar untuk diam sementara terus mengayuh, menikmati pemandangan dan semilir angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahku selama perjalanan bersama Sahabatku yang setia: Yesus Kristus.
    Dan ketika aku tidak tahu apa lagi yang harus aku lakukan, Yesus akan tersenyum dan berkata… “Mengayuhlah terus, Aku bersamamu.”


    By : Chuck Ebbs

    RUANGAN


    "Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh." (Yesaya 53:5)

    Kisah dibawah ini adalah sebuah mimpi yang dialami oleh Joshua Harris.
    Dalam mimpi saya menemukan diri saya berada dalam sebuah ruangan yang mulai dari lantai, tembok hingga langit-langitnya dipenuhi dengan arsip berisi kartu-kartu indeks kecil dengan judul-judul yang berbeda. Dan kemudian tanpa diberi tahu, saya tahu persis dimana saya berada. Ruangan tanpa kehidupan dengan arsip-arsip kecilnya adalah sebuah sistem katalog sederhana dari kehidupan saya. Disana tertulis setiap tindakan saya setiap saat, baik besar maupun kecil, dalam rincian yang tidak dapat ditandingi dengan daya ingat saya.
    Suatu perasaan kagum dan ingin tahu disertai dengan ketakutan yang berkecamuk didalam diri saya ketika saya mulai membuka arsip-arsip itu secara acak dan menyelidiki isinya. Beberapa membawa kenangan manis dan sukacita, yang lain memalukan dan saya sesali sehingga saya akan melihat melalui pundak saya apakah seseorang sedang memperhatikan saya. Judul arsip-arsip tersebut bervariasi mulai dari yang biasa sampai yang aneh sama sekali : Buku-buku yang pernah aku baca, kebohongan-kebohongan yang pernah aku buat, penghiburan yang pernah aku berikan, lelucon-lelucon yang pernah kutertawakan, cemoohan yang pernah kusampaikan kepada saudara-saudaraku, "hal-hal yang telah kulakukan dalam kemarahan, "gerutuan yang pernah aku sampaikan kepada orang tuaku".
    Setiap kartu menegaskan kebenaran. Masing-masing kartu bertuliskan tulisan tangan saya sendiri dan setiap kartu saya tandatangani.
    Tiba-tiba saya merasakan suatu kemarahan seperti seekor binatang. Satu pikiran mendominasi otak saya : "Tidak ada seorangpun yang boleh melihat kartu-karti ini! Tidak satu orang pun yang akan pernah melihat ruangan ini. Saya harus menghancurkan semuanya. Saya harus mengosongkan ruangan ini dan membakar kartu-kartu tersebut. " Tetapi ketika saya mengambil arsip itu dan memukul-mukulkannya ke lantai, saya tidak dapat mencabut satu kartupun. Saya menjadi putus asa dan menarik keluar sebuah kartu, hanya untuk menemukan bahwa kartu itu sekuat baja ketika saya berusaha untuk merobeknya.
    Merasa kalah dan benar-benar putus asa, saya mengembalikan arsip itu ketempatnya. Sambil menyandarkan dahi saya ketembok, saya mengeluarkan keluhan panjang mengasihani diri sendiri dan kemudian saya melihat sebuah arsip lain. Judul arsip itu adalah "Orang-orang yang pernah saya ceritakan tentang Injil".Pegangannya lebih terang daripada yang ada didekatnya, lebih baru, hampir tidak pernah digunakan.
    Dan kemudian air mata pun mengalir. Saya mulai menangis. Saya terisak begitu hebat sampai rasa sakitnya terasa diperut saya dan mengguncangkan saya. Saya jatuh berlutut dan menangis. Saya berteriak karena malu, sangat malu. Tidak ada satu orang pun boleh mengetahui ruangan ini. Saya harus menguncinya dan menyembunyikan kuncinya. Tetapi kemudian saat saya menyeka air mata saya, saya melihat DIA.
    Saya memperhatikan dengan pasrah ketika Ia mulai membuka arsip-arsip dan membaca kartu-kartu di dalamnya. Saya tidak tahan melihat respons-Nya. Dan disaat saya memberanikan diri memandang wajah-Nya, saya melihat suatu kesedihan yang lebih dalam daripada kesedihan saya. Akhirnya Ia berpaling dan memandang saya dari seberang ruangan. Ia memandang saya dengan belas kasihan dimata-Nya. Tetapi bukan kemarahan. Ia menghampiri saya dan merangkul saya. Bisa saja Ia mengatakan begitu banyak hal. Tetapi Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya menangis bersama saya.
    Kemudian Ia bangkit dan berjalan kembali ke dinding arsip tersebut. Dimulai dari ujung ruangan yang satu, Ia mengeluarkan sebuah arsip dan satu demi satu, Ia mulai menuliskan nama-Nya diatas nama saya pada setiap kartu. "Tidak!" saya berteriak, buru-buru menghampiri Dia. Nama-Nya tidak seharusnya ada di kartu-kartu ini. Tetapi nama itu telah tertera, ditulis dengan begitu nyata dan jelas dengan tinta merah. Nama Yesus menutupi nama saya. Nama itu ditulis dengan darah-Nya.Dengan lembut Ia mengembalikan kartu itu. Ia memberikan senyum kesedihan dan melanjutkan untuk menandatangani kartu-kartu itu. Saya tidak akan pernah mengerti bagaimana Ia dapat melakukannya secepat itu, tetapi hal cepat berikutnya adalah saya mendengar Ia sudah berada di arsip terakhir dan kembali ke sisi saya. Ia meletakkan tangan-Nya ke atas pundak saya dan berkata, "Sudah Selesai."
    Saya berdiri dan Ia menuntun saya keluar dari ruangan. Tidak ada kunci pada pintu itu. Masih ada kartu-kartu lain yang akan ditulis dalam sepanjang hidup saya.


    By : Joshua Harris